Inilah
Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap Media
Jika
kita bicara tentang sosok Letjen (Purn) Prabowo Subianto, mungkin bagi yang tahu pasti akan
di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 dimana Letjen (Purn) Prabowo Subianto menjadi
salah satu aktornya. Itu yang selama ini di gembar-gemborkan media yang mungkin Anda sudah tahu. Tapi
tahukah Anda bahwa sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Letjen (Purn) Prabowo
Subianto lah yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda
penasaran ?, mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Letjen (Purn)Prabowo Subianto
yang sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini
cukup panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama.
Fakta
Prabowo Subianto
Jum’at
14 Maret 2014, Kompas TV menayangkan Letjen (Purn) Prabowo Subianto dalam acara Aiman dan….
Letjen (Purn) Prabowo adalah salah satu nama yang maju dalam pemilihan presiden Republik
Indonesia. Karena posisi presiden di RI, sesungguhnya lebih berkuasa daripada
presiden Amerika Serikat maupun Rusia, presiden RI haruslah yang terbaik dari yang
ikut bertarung. Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya bukan kader
Partai Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok Letjen (Purn) Prabowo Subianto
yang kontroversial dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Tujuannya adalah
agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang tentang calon
pemimpin yang akan dipilihnya termasuk Prabowo Subianto. Mengingat begitu krontroversial
dan banyaknya dis informasi mengenai tokoh yang satu ini.
Prabowo Subianto
lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus (Komandan
Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses, politisi, dan calon
presiden 2014. Letjen (Purn) Prabowo Subianto adalah putra dari begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro
Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang
merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari
silsilahnya tampak bahwa Prabowo Subianto memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia.
Bahkan jauh sebelum republik ini lahir.
Prabowo
Subianto menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Saat ini, Titiek sendiri menjadi
calon anggota legislatif dari Partai Golongan Karya (Golkar). Keputusan yang
tampak prospektif saat itu namun menjadi blunder dalam hidupnya dikemudian
hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, Prabowo Subianto mewarisi kecerdasan
ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Meskipun beliau adalah alumnus AKABRI
(1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo Subianto juga
diterima di American School In London, Britania Raya.
Karirnya
dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer
Prabowo Subianto termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia). Prabowo Subianto bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dialah
jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo Subianto bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, Susilo Bambang Yudoyono lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudoyono yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo Subianto cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo Subianto akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo Subianto bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, Susilo Bambang Yudoyono lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudoyono yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo Subianto cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo Subianto akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah
satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng
nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan
Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mngungkapkan hasil
pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada Letjen (Purn) Prabowo Subianto yang notabene menjadi
tertuduhnya. Tampaknya Jenderal TNI Wiranto (yang saat itu Panglima ABRI) sengaja mengambil manfaat agar prasangka publik
menghukum Prabowo Subianto lebih berat daripada “dosanya”. Meski Prabowo Subianto bersikeras
mengatakan tak pernah perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung jawab
anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata Letjen (Purn) Prabowo Subianto saat itu.
Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang
gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo Subianto. Jika Prabowo Subianto
benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius Lustri Lanang
dan Desmond J Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski
begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo Subianto justru sudah teruji di saat-saat paling
kritis yang pernah dialami negeri tercinta ini. Bagi mereka yang lelah dengan
kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, selalu terkesan ragu-ragu
tampaknya Prabowo Subianto adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang
sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah maka Prabowo Subianto adalah pilihan yang
patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, Letjen (Purn) Prabowo
Subianto memilih untuk mengambil alih tanggung jawab dan menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal
tenggelam, tetapi justru yang terakhir. Seperti terlihat dalam film Titanic,
ketika kapal sudah mulai tenggelam, kapten kapal memastikan semua penumpang
selamat, dan akhirnya dirinya sendiri gagal selamat. Sayang, karir militer
Prabowo Subianto yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan.
Bahkan bisa dikatakan memilukan.
Prabowo
Subianto bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan
pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998. Berbicara tentang
Prabowo Subianto, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama
bangsa Indonesia selamanya. Sebagai pihak yang kalah, Prabowo Subianto menjadi “kambing
hitam” dari semua kejadian tersebut. Seperti kata pepatah, tinta sejarah adalah
milik pemenang. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya.
Stigma negatif sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata
lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo Subianto. Jika memang benar Prabowo
Subianto adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka dia sudah
menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo Subianto yang karir
gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu harus berhenti dengan
sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah
Prabowo Subianto tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa
Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putra terbaiknya?
Jauh
sebelum peristiwa pilu Mei 1998 proses penghancuran nama baik Prabowo Subianto sudah terjadi.
Semua berawal dari rivalitas antara Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Jenderal (Purn)Wiranto. Ketidak harmonisan Prabowo Subianto
dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena latar belakang
keduanya yang jauh berbeda. Prabowo Subianto yang kosmopolitan cenderung memiliki pola
pikir yang terbuka. Sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat
kental lebih tertutup. Namun Prabowo Subianto yang sudah terbiasa dengan persaingan terbuka
sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa dan tidak
dijadikan persoalan. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat “Jawa
Tradisional” itu, dia lebih mirip dengan Jenderal Besar Soeharto dalam menyikapi suatu
rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang
mengganggu karir militer atau politiknya di masa lalu. Jika tidak mati,
membusuk di penjara. Salah satu contohnya adalah Fadjroel Rachman,
yang sempat mendekam di Nusa Kambangan dan kehilangan teman-temannya. Fadjroel Rachman
sendiri akhirnya bebas ketika Prof.Yusuf Habibie menjadi presiden.
Indikasi
ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau dalam kapasitasnya sebagai PANGAB (Panglima
ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad Letjen Soegiono kepada Letjen Prabowo Subianto.
Begitu juga saat pemberhentian secara hormat Prabowo Subianto sebagai perwira militer. Jenderal Wiranto mencopot tanda-tanda pangkat Letjen Prabowo Subianto dengan satu tangan saja. Proses
berakhir secara paksanya karir militer Prabowo Subianto memang tidak bisa dilepaskan
dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. Prabowo Subianto sebagai gambaran perwira
muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi Prabowo Subianto saat itu
benar-benar terjepit. Di satu sisi Prabowo Subianto adalah menantu penguasa yang sedang menjadi
sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain akibat manuver Jenderal Wiranto dkk,
Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun.
Sampai-sampai kepada penggantinya Habibie, beliau menyampaikan pesan khusus
untuk “mengamankan” Prabowo Subianto. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi ? Semuanya tidak
terlepas dari peristiwa Mei 1998 yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini
masih menghantui Republik Indonesia ini.
Ada
3 tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo Subianto, yaitu: (1).Penculikan akitivis, (2).
penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, dan (3). dalang kerusuhan Mei 1998. Tidak satupun
tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo Subianto bersalah bukankah Pangab (Panglima ABRI)
saat itu Jenderal TNI Wiranto ? Bukankah sebagai Panglima, beliaulah (Wiranto) yang seharusnya paling
bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo Subianto tidak pernah diberitahu
tentang hasil penyelidikan DKP (Dewan Kehormatan Perwira) sehingga tidak bisa membela diri ? Mengenai
penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, Jenderal Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’
dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke
Prabowo Subianto, yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang dibalik
penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah
sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo Subianto terlanjur menjadi pesakitannya.
Tuduhan mengarahkan Prabowo Subianto dibalik penembakan, dengan konspirasi anggota Kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori
konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena peluru snipper diatas 7 mm dan
proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih
secara acak. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target
pilihan. Lima hari setelah insiden Trisakti, Prabowo Subianto datang ke rumah Herry
Hartanto. Di bawah Al Qur'an dia bersumpah di depan Syaharir Mulyo Utomo orang
tua korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.”
Perihal
keterlibatan Prabowo Subianto atas penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi
pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf Angkatan Darat) atas inisiatif
Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo Subianto dengan tokoh masyarakat, antara lain:
Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam
pertemuan itu Prabowo Subianto ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo Subianto menjawab, “Demi
Allah saya tidak terlibat, saya di set-up.” Menurut Adnan Buyung Nasution terlihat jujur.
Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidak terlibatan Prabowo Subianto atas
peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi
kesulitan memaksa Kapolri Jenderal (Polisi) Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai
terlibat. Disinilah peran Jenderal Wiranto terlihat.
17
hari setelah insiden itu berlalu, baru Jenderal Wiranto memanggil Jenderal (Polisi) Dibyo Widodo untuk
memerintahkan supaya menyerahkan anggotanya. Itupun anggotanya diserahkan ke Polda Metro Jaya
bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan
Pangabnya adalah Jenderal TNI Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru
diserahkan tanggal 19 Juni 1998. Lebih dari satu bulan sejak peristiwa terjadi. Kelak
pada tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal
dari anggota Polri unit gegana. Siapa sesungguhnya dibalik pristiwa itu? Siapa
yang beri perintah? Jelas bukan Letjen TNI Prabowo Subianto yang sebagai Pangkostrad, karena tidak punya
jalur komando ke Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan.
Bagaimana dengan tuduhan Prabowo Subianto sebagai otak dibalik kerusuhan Mei 1998?
Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi, Prabowo Subianto dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung diantara para
elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena
spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan
‘terror by design’ (teror yang didesain)?
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup, dan bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran Susilo Bambang Yudoyono dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup, dan bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran Susilo Bambang Yudoyono dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Satu
peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Jenderal Wiranto pada peristiwa
tersebut adalah kepergiannya ke Malang, Jawa Timur saat ibukota Jakarta sedang genting-gentingnya.
Sebab Jenderal Wiranto sudah mengetahui akan ada kerusuhan di ibukota, tetapi tetap bersikukuh
untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah terima PPRC dari Divisi I
ke Divisi II. Wiranto menjadi Inspektur upacara (irup) nya. Sebenarnya itu
adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima
Pangkostrad saja, Jenderal Wiranto bisa berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi
ibukota Jakarta yang sedang genting, beliau sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup
acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat. Apalagi
mengingat tanggal 13 Mei 1998 malam, Jenderal Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta untuk
menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi bahwa Kasum TNI Letjen Fahrur
Razi saat itu sudah ditunjuk oleh Pangkostrad Prabowo Subianto menjadi Inspektur Upacara di Malang. Tetapi
sekonyong-konyong diambil alih oleh Jenderal Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan?
Mungkinkah Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam
kondisi ibukota terjadi kerusuhan, Jenderal Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak
komandan-komandan seperti Danjen Kopasus, komandan Marinir, dll. Lebih
mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo Subianto sudah berulang kali menghubungi Jenderal Wiranto
untuk membatalkan kepergiannya. Jenderal Wiranto menjawab “Show must goon”. Ini mirip
dengan Soeharto mengetahui akan gerakan 30 September 1965, namun sengaja tidak melakukan
tindakan apapun untuk mencegahnya.
Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo Subianto kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam Jaya. Tetapi sekali lagi, Jenderal Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules milik ABRI sehingga Prabowo Subianto mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya, jika negara dalam keadaan genting seperti itu Panglima ABRI wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Jenderal Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Jenderal Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo Subianto yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Jenderal Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei 1998untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai Ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Jenderal Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo Subianto sendiri sudah mengingatkan Jenderal Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Jenderal Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Jenderal Wiranto membentuk Pam Swakarsa? Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei 1998 tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Jenderal Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Jenderal Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo Subianto, sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo Subianto mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima TNI Jenderal Wiranto melalui Kasum ABRI Fahrur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumi hanguskan.
Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo Subianto kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam Jaya. Tetapi sekali lagi, Jenderal Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules milik ABRI sehingga Prabowo Subianto mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya, jika negara dalam keadaan genting seperti itu Panglima ABRI wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Jenderal Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Jenderal Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo Subianto yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Jenderal Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei 1998untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai Ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Jenderal Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo Subianto sendiri sudah mengingatkan Jenderal Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Jenderal Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Jenderal Wiranto membentuk Pam Swakarsa? Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei 1998 tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Jenderal Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Jenderal Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo Subianto, sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo Subianto mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima TNI Jenderal Wiranto melalui Kasum ABRI Fahrur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumi hanguskan.
Bukti
lain semakin mengarah kepada Jenderal Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan
Mei 1998 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi
ibukota Jakarta yang semakin tidak terkendali, Sjamsu menyarankan untuk memberlakukan
jam malam. Namun Jenderal Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang
yang memberi peringatan kepada Jenderal Wiranto saat itu. Jadi keputusannya berangkat ke
Malang adalah bagian dari “rencana”. Makin terkuak disini bahwa Prabowo Subianto yang
justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai
pelaku kudeta.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei 1998 itu murni spontanitas warga atau
karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu? Mengenai pembentukan
Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu adalah bentukan Jenderal
Wiranto. Dia yang ditugasi perintah untuk pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh
Jenderal Wiranto. Jenderal Wiranto memanggil Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi.
Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut Jenderal Wiranto
mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia). Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas
biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota
dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat
adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by design”, dimulai berdasarkan komando
pihak-pihak tertentu. Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari
Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim? Disaat yang sama kerusuhan
terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di
waktu yang persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa
kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan dibawah
komando yang sama. Disaat massa mulai menjarah ibukota Jakarta, disaat yang sama
kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika kerusuhan itu
spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta
sekaligus Solo?
Di
salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut
masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi dilantai 2 ditampar dan
disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar. Kita tahu
akhirnya Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja
memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada pihak
tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang
memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan? Sebagaimana yang kita ketahui
selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya
Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya
Presiden Soeharto? Adakah Jenderal Wiranto dkk atau Prabowo Subianto? Yang jelas sesaat setelah lengsernya
presiden Soeharto, Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI dengan mudahnya menghancurkan karir militer
Prabowo Subianto.
Dengan
tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 1998, disini disampaikan
bahwa sesungguhanya kejatuhan presiden Soeharto bukan karena demo. Tetapi lebih karena
pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer yang mana mereka
sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa jatuhnya Presiden Soeharto
dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta
halus (soft coup) yang memanfaatkan demonstrasi mahasiswa yang merebak
dimana-mana sebagai “pemicu”nya.
Rupanya
dalam suasana genting jatuhnya kekuasaan Presiden RI Soeharto itu diwarnai pula oleh
rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira tinggi ABRI. Akibat lemahnya
kepemimpinan Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI ditambah suasana yang tidak menentu.
Masing-masing perwira ABRI berusaha mencari manfaat atas situasi tersebut. Para
perwira berusaha “berinvestasi” untuk masa depannya masing-masing, setidaknya
mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh
ABRI sendiri tidak solid dibawah satu komando. Masing-masing punya agenda
sendiri-sendiri dan saling curiga satu sama lain.
Salah
satu contohnya adalah adanya siaran pers dari Puspen (pusat penerangan) ABRI
menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah
langsung oleh Jenderal Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya Presiden Soeharto. Salah
satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan ABRI terhadap sikap PBNU (Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden Soeharto lengser. Sebenarnya itu
bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak
ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU
itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol ABRI saat itu, Susilo Bambang Yudono. Meski tengah malam itu
juga Jenderal Wiranto membangunkan seluruh perwira ABRI untuk menarik rilis itu dari seluruh
media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Presiden Soeharto
yang tahu tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan,
terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan
Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto, karena Jenderal Wiranto menganggap Prabowo Subianto -lah yang mengadukan ini ke
Presiden Soeharto.
Tanggal
18 Mei 1998, Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi “Brutus” dengan
meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur sebagai presiden. Sikap Harmoko ini cukup
mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR RI adalah semata-mata
untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya, Harmoko selalu langganan dipilih
sebagai menteri oleh Presiden Soeharto. Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya
karena Soeharto. Namun karena desakan mahasiswa dan tokoh masyarakat, akhirnya Harmoko memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin
DPR/MPR itu, disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR
dan masyarakat seluruh Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama
karena sekitar pukul 23:00 WIB Jenderal Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak
pernyataan Ketua DPR/MPR Harmoko itu.
Melihat
situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya, sebenarnya Presiden Soeharto sudah
berniat mundur dari jabatannya. Namun, Presiden Soeharto ingin memastikan pasca mundurnya dia
sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa.
Tanggal 19 Mei 1998 dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat, seperti
Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll, minus Amien Rais. Dalam
pertemuan tersebut, Presiden Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang
akan menyiapkan Pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan
mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei 1998, Jenderal Wiranto mengadakan rapat di Mabes ABRI.
Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul
perbedaan antara Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto. Dalam rapat itu Jenderal Wiranto mengatakan bahwa
perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at
all cost). Prabowo Subianto bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan
digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh Jenderal
Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas saja
mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo Subianto agar Amien Rais
membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat
Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais
membatalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadap Habibie, Prabowo Subianto berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah Anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo Subianto kepada Presiden Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo Subianto meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo Subianto merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo Subianto menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo Subianto yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah Prabowo Subianto ke Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Jenderal Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Presiden Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Jenderal Wiranto “mengadukan” tentang manuver Prabowo Subianto yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat Prabowo Subianto tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo Subianto dengan kasar sambil mengacungkan jari telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo Subianto. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo Subianto keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo Subianto- hanya bisa menangis, lalu Prabowo Subianto pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo Subianto sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Jenderal Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Presiden Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini, Jenderal Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Saat menghadap Habibie, Prabowo Subianto berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah Anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo Subianto kepada Presiden Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo Subianto meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo Subianto merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo Subianto menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo Subianto yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah Prabowo Subianto ke Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Jenderal Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Presiden Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Jenderal Wiranto “mengadukan” tentang manuver Prabowo Subianto yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat Prabowo Subianto tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo Subianto dengan kasar sambil mengacungkan jari telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo Subianto. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo Subianto keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo Subianto- hanya bisa menangis, lalu Prabowo Subianto pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo Subianto sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Jenderal Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Presiden Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini, Jenderal Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara
itu Wapres Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi
mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 Menteri Ekuin di bawah Ginandjar
Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian dari Kabinet
Reformasi. Presiden Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian terakhir ini
karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara mereka ada yang dianggap sebagai
orang-orang yang dia “selamatkan”. Malam itu Presiden Soeharto terlihat gugup dan
bimbang. Suatu kejadian langka. Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir
sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di
Cendana para mantan Wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma,
Sudharmono, Try Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Presiden Soeharto memanggil Yusril
Ihza Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Jenderal Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa besok
akan menyerahkan kekuasaan kepada Wapres Habibie. Esok paginya, Pimpinan DPR/MPR Harmoko, Syarwan
Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum menemui Presiden Soeharto
di ruang Jepara.
“Ada dokumen lain lagi?” tanya Presiden Soeharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” tutur Presiden Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Wapres Habibie tetapi Presiden Soeharto melengos. Presiden Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Wapres Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
“Ada dokumen lain lagi?” tanya Presiden Soeharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” tutur Presiden Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Wapres Habibie tetapi Presiden Soeharto melengos. Presiden Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Wapres Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
Sekitar
pukul 23:00 WIB Prabowo Subianto dan Muhdi PR bertemu dengan Habibie di kediamannya untuk
memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya pada tanggal 22 Mei,
selesai Sholat Jumat Prabowo Subianto mendapat kabar mengejutkan. Bagai petir di siang
bolong, Prabowo Subianto di Makostrad ditelepon Mabes TNI AD, diminta menanggalkan
benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot. Prabowo Subianto
mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan pun kamu ragu
temui saya, jugan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo Subianto menemui Habibie yang sudah
menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga
mertua saya.” Presiden Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto
bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan istana. Prabowo
Subianto minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Presiden Habibie menolak. “Tidak, sampai matahari
terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan!” Dari sini kembali terlihat,
untuk kedua kalinya Prabowo Subianto dikalahkan oleh lobi dan pendekatan Jenderal Wiranto. Kelak,
Jenderal Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan
diterima secara salah oleh Presiden Habibie. Namun kesalahpahaman apapun itu, Prabowo
Subianto sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurlah karir militer yang
begitu gilang gemilang.
Kita
tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah
mengartikan informasi yang disampaikan Jenderal Wiranto, atau memang ada kesengajaan
melakukan miss-informasi terhadap Prabowo Subianto mengingat persaingan internal ABRI
saat itu. Demikian akhir tulisan singkat mengenai Sang Jenderal yang Terbuang.
Semoga menambah wawasan dan menjadi pelajaran bagi kita semua.(*)
Sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar