Rabu, 28 Mei 2014

Berita

1. Inilah Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap Media 
  Jika kita bicara tentang sosok Letjen (Purn) Prabowo Subianto, mungkin bagi yang tahu pasti akan di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 dimana Letjen (Purn) Prabowo Subianto menjadi salah satu aktornya. Itu yang selama ini di gembar-gemborkan media yang mungkin Anda sudah tahu. Tapi tahukah Anda bahwa sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Letjen (Purn) Prabowo Subianto lah yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda penasaran ?, mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Letjen (Purn) Prabowo Subianto yang  sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini cukup panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama. Baca selengkapnya disini......

Inikah yang Menyebabkan Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto Berpisah



Inilah Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap Media 

  Jika kita bicara tentang sosok Letjen (Purn) Prabowo Subianto, mungkin bagi yang tahu pasti akan di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 dimana Letjen (Purn) Prabowo Subianto menjadi salah satu aktornya. Itu yang selama ini di gembar-gemborkan media yang mungkin Anda sudah tahu. Tapi tahukah Anda bahwa sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Letjen (Purn) Prabowo Subianto lah yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda penasaran ?, mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Letjen (Purn)Prabowo Subianto yang  sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini cukup panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama.

Fakta Prabowo Subianto
Jum’at 14 Maret 2014, Kompas TV menayangkan Letjen (Purn) Prabowo Subianto dalam acara Aiman dan…. Letjen (Purn) Prabowo adalah salah satu nama yang maju dalam pemilihan presiden Republik Indonesia. Karena posisi presiden di RI, sesungguhnya lebih berkuasa daripada presiden Amerika Serikat maupun Rusia, presiden RI haruslah yang terbaik dari yang ikut bertarung. Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya bukan kader Partai Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok Letjen (Purn) Prabowo Subianto yang kontroversial dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Tujuannya adalah agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya termasuk Prabowo Subianto. Mengingat begitu krontroversial dan banyaknya dis informasi mengenai tokoh yang satu ini.
Prabowo Subianto lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses, politisi, dan calon presiden 2014. Letjen (Purn) Prabowo Subianto adalah putra dari begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya tampak bahwa Prabowo Subianto memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia. Bahkan jauh sebelum republik ini lahir.
Prabowo Subianto menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Saat ini, Titiek sendiri menjadi calon anggota legislatif dari Partai Golongan Karya (Golkar). Keputusan yang tampak prospektif saat itu namun menjadi blunder dalam hidupnya dikemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, Prabowo Subianto mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Meskipun beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo Subianto juga diterima di American School In London, Britania Raya.
Karirnya dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer Prabowo Subianto termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Prabowo Subianto bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo Subianto bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, Susilo Bambang Yudoyono lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudoyono yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo Subianto cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo Subianto akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mngungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada Letjen (Purn) Prabowo Subianto yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Jenderal TNI Wiranto (yang saat itu Panglima ABRI) sengaja mengambil manfaat agar prasangka publik menghukum Prabowo Subianto lebih berat daripada “dosanya”. Meski Prabowo Subianto bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata Letjen (Purn) Prabowo Subianto saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo Subianto. Jika Prabowo Subianto benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius Lustri Lanang dan Desmond J Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo Subianto justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri tercinta ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, selalu terkesan ragu-ragu tampaknya Prabowo Subianto adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah maka Prabowo Subianto adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, Letjen (Purn) Prabowo Subianto memilih untuk mengambil alih tanggung jawab dan menanggung sendiri resikonya. Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tetapi justru yang terakhir. Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai tenggelam, kapten kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya dirinya sendiri gagal selamat. Sayang, karir militer Prabowo Subianto yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan.
Prabowo Subianto bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998. Berbicara tentang Prabowo Subianto, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya. Sebagai pihak yang kalah, Prabowo Subianto menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Seperti kata pepatah, tinta sejarah adalah milik pemenang. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma negatif sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo Subianto. Jika memang benar Prabowo Subianto adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo Subianto yang karir gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah Prabowo Subianto tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putra terbaiknya?
Jauh sebelum peristiwa pilu Mei 1998 proses penghancuran nama baik Prabowo Subianto sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Jenderal (Purn)Wiranto. Ketidak harmonisan Prabowo Subianto dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo Subianto yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka. Sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun Prabowo Subianto yang sudah terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa dan tidak dijadikan persoalan. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat “Jawa Tradisional” itu, dia lebih mirip dengan Jenderal Besar Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militer atau politiknya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara. Salah satu contohnya adalah Fadjroel Rachman, yang sempat mendekam di Nusa Kambangan dan kehilangan teman-temannya. Fadjroel Rachman sendiri akhirnya bebas ketika Prof.Yusuf Habibie menjadi presiden.


Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau dalam kapasitasnya sebagai PANGAB (Panglima ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad Letjen Soegiono kepada  Letjen Prabowo Subianto. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat Prabowo Subianto sebagai perwira militer. Jenderal Wiranto mencopot tanda-tanda pangkat Letjen Prabowo Subianto dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer Prabowo Subianto memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. Prabowo Subianto sebagai gambaran perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi Prabowo Subianto saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi Prabowo Subianto adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain akibat manuver Jenderal Wiranto dkk, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya Habibie, beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” Prabowo Subianto. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi ? Semuanya tidak terlepas dari peristiwa Mei 1998 yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui Republik Indonesia ini.
Ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo Subianto, yaitu: (1).Penculikan akitivis, (2). penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, dan (3). dalang kerusuhan Mei 1998. Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo Subianto bersalah bukankah Pangab (Panglima ABRI) saat itu Jenderal TNI Wiranto ? Bukankah sebagai Panglima, beliaulah (Wiranto) yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo Subianto tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP  (Dewan Kehormatan Perwira) sehingga tidak bisa membela diri ? Mengenai penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, Jenderal Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke Prabowo Subianto, yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang dibalik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo Subianto terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo Subianto dibalik penembakan, dengan konspirasi anggota Kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara acak. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari setelah insiden Trisakti, Prabowo Subianto datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Al Qur'an dia bersumpah di depan Syaharir Mulyo Utomo orang tua korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.
Perihal keterlibatan Prabowo Subianto atas penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo Subianto dengan tokoh masyarakat, antara lain: Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam pertemuan itu Prabowo Subianto ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo Subianto menjawab, “Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up.” Menurut Adnan Buyung Nasution terlihat jujur. Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidak terlibatan Prabowo Subianto atas peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Jenderal (Polisi) Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Disinilah peran  Jenderal Wiranto terlihat.
17 hari setelah insiden itu berlalu, baru Jenderal Wiranto memanggil Jenderal (Polisi) Dibyo Widodo untuk memerintahkan supaya menyerahkan anggotanya. Itupun anggotanya diserahkan ke Polda Metro Jaya bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan Pangabnya adalah Jenderal TNI Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru diserahkan tanggal 19 Juni 1998. Lebih dari satu bulan sejak peristiwa terjadi. Kelak pada tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal dari anggota Polri unit gegana. Siapa sesungguhnya dibalik pristiwa itu? Siapa yang beri perintah? Jelas bukan Letjen TNI Prabowo Subianto yang sebagai Pangkostrad, karena tidak punya jalur komando ke Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan. Bagaimana dengan tuduhan Prabowo Subianto sebagai otak dibalik kerusuhan Mei 1998? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi, Prabowo Subianto dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung diantara para elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’ (teror yang didesain)?
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup, dan bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran Susilo Bambang Yudoyono dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Jenderal Wiranto pada peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang, Jawa Timur saat ibukota Jakarta sedang genting-gentingnya. Sebab Jenderal Wiranto sudah mengetahui akan ada kerusuhan di ibukota, tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi Inspektur upacara (irup) nya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja, Jenderal Wiranto bisa berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi ibukota Jakarta yang sedang genting, beliau sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat. Apalagi mengingat tanggal 13 Mei 1998 malam, Jenderal Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi bahwa Kasum TNI Letjen Fahrur Razi saat itu sudah ditunjuk oleh Pangkostrad Prabowo Subianto menjadi Inspektur Upacara di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Jenderal Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota terjadi kerusuhan, Jenderal Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen Kopasus, komandan Marinir, dll. Lebih mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo Subianto sudah berulang kali menghubungi Jenderal Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Jenderal Wiranto menjawab “Show must goon”. Ini mirip dengan Soeharto mengetahui akan gerakan 30 September 1965, namun sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.
Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo Subianto kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam Jaya. Tetapi sekali lagi, Jenderal Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules milik ABRI sehingga Prabowo Subianto mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya, jika negara dalam keadaan genting seperti itu Panglima ABRI wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Jenderal Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Jenderal Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo Subianto yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Jenderal Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei 1998untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai Ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Jenderal Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo Subianto sendiri sudah mengingatkan Jenderal Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Jenderal Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Jenderal Wiranto membentuk Pam Swakarsa? Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei 1998 tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Jenderal Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Jenderal Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo Subianto, sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo Subianto mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima TNI Jenderal Wiranto melalui Kasum ABRI Fahrur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumi hanguskan.
Bukti lain semakin mengarah kepada Jenderal Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei 1998 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi ibukota Jakarta yang semakin tidak terkendali, Sjamsu menyarankan untuk memberlakukan jam malam. Namun Jenderal Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan kepada Jenderal Wiranto saat itu. Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah bagian dari “rencana”. Makin terkuak disini bahwa Prabowo Subianto yang justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai pelaku kudeta.
Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei 1998 itu murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu? Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu adalah bentukan Jenderal Wiranto. Dia yang ditugasi perintah untuk pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Jenderal Wiranto. Jenderal Wiranto memanggil Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut Jenderal Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by design”, dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu. Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan dibawah komando yang sama. Disaat massa mulai menjarah ibukota Jakarta, disaat yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar. Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan? Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya Presiden Soeharto? Adakah Jenderal Wiranto dkk atau Prabowo Subianto? Yang jelas sesaat setelah lengsernya presiden Soeharto, Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI dengan mudahnya menghancurkan karir militer Prabowo Subianto.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 1998, disini disampaikan bahwa sesungguhanya kejatuhan presiden Soeharto bukan karena demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan demonstrasi mahasiswa yang merebak dimana-mana sebagai “pemicu”nya.
Rupanya dalam suasana genting jatuhnya kekuasaan Presiden RI Soeharto itu diwarnai pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira tinggi ABRI. Akibat lemahnya kepemimpinan Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI ditambah suasana yang tidak menentu. Masing-masing perwira ABRI berusaha mencari manfaat atas situasi tersebut. Para perwira berusaha “berinvestasi” untuk masa depannya masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid dibawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri dan saling curiga satu sama lain.
Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari Puspen (pusat penerangan) ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah langsung oleh Jenderal Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya Presiden Soeharto. Salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan ABRI terhadap sikap PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden Soeharto lengser. Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol ABRI saat itu, Susilo Bambang Yudono. Meski tengah malam itu juga Jenderal Wiranto membangunkan seluruh perwira ABRI untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Presiden Soeharto yang tahu tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan, terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto, karena Jenderal Wiranto menganggap Prabowo Subianto -lah yang mengadukan ini ke Presiden Soeharto.
Tanggal 18 Mei 1998, Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi “Brutus” dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur sebagai presiden. Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR RI adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya, Harmoko selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Presiden Soeharto. Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan mahasiswa dan tokoh masyarakat, akhirnya Harmoko memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin DPR/MPR itu, disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan masyarakat seluruh Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena sekitar pukul 23:00 WIB Jenderal Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak pernyataan Ketua DPR/MPR Harmoko itu.
Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya, sebenarnya Presiden Soeharto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun, Presiden Soeharto ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19 Mei 1998 dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll, minus Amien Rais. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan Pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei 1998, Jenderal Wiranto mengadakan rapat di Mabes ABRI. Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul perbedaan antara Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto. Dalam rapat itu Jenderal Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at all cost). Prabowo Subianto bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh Jenderal Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas saja mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo Subianto agar Amien Rais membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais membatalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadap Habibie, Prabowo Subianto berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah Anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo Subianto kepada Presiden Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo Subianto meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo Subianto merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo Subianto menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo Subianto yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah Prabowo Subianto ke Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Jenderal Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Presiden Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Jenderal Wiranto “mengadukan” tentang manuver Prabowo Subianto yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat Prabowo Subianto tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo Subianto dengan kasar sambil mengacungkan jari telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo Subianto. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo Subianto keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo Subianto- hanya bisa menangis, lalu Prabowo Subianto pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo Subianto sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Jenderal Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Presiden Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini, Jenderal Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara itu Wapres Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 Menteri Ekuin di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian dari Kabinet Reformasi. Presiden Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia “selamatkan”. Malam itu Presiden Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka. Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di Cendana para mantan Wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Presiden Soeharto memanggil Yusril Ihza Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Jenderal Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa besok akan menyerahkan kekuasaan kepada Wapres Habibie. Esok paginya, Pimpinan DPR/MPR Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum menemui Presiden Soeharto di ruang Jepara.
“Ada dokumen lain lagi?” tanya Presiden Soeharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” tutur Presiden Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Wapres Habibie tetapi Presiden Soeharto melengos. Presiden Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Wapres Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
Sekitar pukul 23:00 WIB Prabowo Subianto dan Muhdi PR bertemu dengan Habibie di kediamannya untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya pada tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo Subianto mendapat kabar mengejutkan. Bagai petir di siang bolong, Prabowo Subianto di Makostrad ditelepon Mabes TNI AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot. Prabowo Subianto mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jugan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo Subianto menemui Habibie yang sudah menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya.” Presiden Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan istana. Prabowo Subianto minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Presiden Habibie menolak. “Tidak, sampai matahari terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan!” Dari sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya Prabowo Subianto dikalahkan oleh lobi dan pendekatan Jenderal Wiranto. Kelak, Jenderal Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Presiden Habibie. Namun kesalahpahaman apapun itu, Prabowo Subianto sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurlah karir militer yang begitu gilang gemilang.
Kita tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah mengartikan informasi yang disampaikan Jenderal Wiranto, atau memang ada kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo Subianto mengingat persaingan internal ABRI saat itu. Demikian akhir tulisan singkat mengenai Sang Jenderal yang Terbuang. Semoga menambah wawasan dan menjadi pelajaran bagi kita semua.(*)

Sumber : kompasiana.com

Minggu, 18 Mei 2014

Transaksi Pembiayaan Syariah yang Halal



Secara umum ada empat prinsip pembiayaan syariah yang dihalalkan menurut Islam, yaitu prinsip jual beli, bagi hasil, sewa (ujrah), dan prinsip Hutang.
    
     1.    Prinsip Jual Beli
Dalam jual beli kita mengenal istilah murabahah yaitu transaksi dimana penjual menyebut harga pokok barang dan margin yang diambil. Kemudian ada istilah salam, yaitu jual beli lewat cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu (spesifikasi, jumlah/takaran, harga, tempat penyerahan barang yang jelas) dan pembayaran secara tunai di muka secara penuh. Ada lagi istilah istishna’ yaitu jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria tertentu antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’), adapun pembayaran dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

      2.    Prinsip Bagi Hasil
Ada dua transaksi dalam prinsip bagi hasil, yaitu mudharabah dan musyakarah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana.
Bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis, asalkan halal dan untung-menguntungkan disebut mudharabah muthalaqah. Sedangkan jika bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang dibatasi dengan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha disebut mudharabah muqayyadah.
Transaksi lainnya dalam prinsip bagi hasil adalah musharakah, yaitu bentuk kerja sama diantara pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan porsi dana/modal masing-masing.
Dibawah ini beberapa bentuk musyakarah :
a.    Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih dimana setiap pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi yang dibutuhkan dan ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya, kedua pihak berbagi pula dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati diantara mereka.
b.    Syirkah Mufawadhah adalah kontrak/kerjasama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama rata.
c.    Syirkah Abdan (Amal) adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya member kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal.
d.    Syirkah Wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak.

      3.    Prinsip Sewa (Ujrah)
Dalam prinsip sewa (ujrah) kita mengenal dua jenis transaksi, yaitu ijarah dan wakalah bil ujrah. Ijarah adalah akad yang digunakan untuk transaksi sewa menyewa suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Sedangkan wakalah bil ujrah adalah akad pelimpahan kekuasaan atau  pemberian kuasa untuk hal-hal yang boleh diwakilkan dari satu pihak kepada pihak lain, dimana pihak yang mewakili dapat meminta upah (ujrah).

      4.    Prinsip Hutang
Dalam prinsip hutang ada istilah Qardh dan Rahn. Prinsip Qardh adalah memberikan pinjaman harta kepada seseorang/pihak lain dan seseorang/pihak lain akan mengembalikan pinjamannya sebesar jumlah yang dipinjamnya. Sedangkan Rahn adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan, dimana pihak pemberi pinjaman (murtahin) dapat menahan barang jaminan (marhun) atau menguasai surat bukti kepemilikan asset jaminan tersebut sampai pelunasan semua hutang pemilik barang atau asset (rahn). (*)

Sabtu, 17 Mei 2014

Contoh Transaksi Haram dan Solusinya



   A.   Hutang-Piutang
-     Misalnya si A pinjam uang Rp 1 juta kepada si B. Pada saat si A mau mengembalikan pinjamannya, si B meminta kepada si A mengembalikan Rp 1,2juta. Ini riba, Karena ada tambahan Rp 200.000,-. 
-       Contoh lagi, si A meminjam uang kepada si B Rp 10juta selama satu tahun. Sampai dengan waktu lima tahun si B belum bisa membayar hutangnya. Tiba-tiba si B meminta kepada si  A supaya membayar hutangnya yang Rp 10juta menjadi Rp 20juta. Alasannya, dulu uang Rp 10juta kalau dibelikan sapi dapat dua ekor, sedangkan sekarang dua ekor sapi harganya Rp 20juta, maka sekarang si A harus membayar hutangnya Rp 20juta. Ini termasuk riba nasi’ah (riba hutang-piutang).  
-      Contoh lagi, si A meminjam gabah satu kuintal kepada si B, waktu itu harga gabah Rp 5.000,-/kg. Dua bulan berikutnya, saat  si A mau mengembalikan gabah kepada si B, harga gabah turun menjadi Rp 4000,-/kg. Si B tidak bisa menerima pengembalian gabah sama-sama satu kuintal, tetapi si B minta pengembalian gabah sebanyak 1,25 kuintal. Ini riba. Supaya tidak riba pinjamnya satu kuintal gabah, maka pengembaliannya pun harus satu kuintal gabah.
 
   B.   Jual-Beli (Perdagangan)
-       Menukarkan uang kertas Rp 100ribu dengan uang receh, misal senilai Rp 90ribu. Bisnis seperti ini biasanya terjadi di terminal-terminal bus pada waktu menjelang lebaran. Ini riba. Supaya tidak riba, maka uang kertas Rp 100ribu itu harus ditukar dengan uang receh (misal ribuan) senilai Rp 100ribu juga. 
-       Menukarkan uang dollar atau mata uang lainnya dengan mata uang rupiah sesuai dengan kurs sekarang, tetapi penyerahannya tidak pada waktu sekarang. Misal, satu minggu berikutnya. Ini juga riba. Supaya tidak riba, maka uang dollar ditukar dengan uang rupiah sesuai kurs sekarang dan penyerahannya pun sekarang juga.

-       Menukarkan beras berkualitas rendah (missal 7 kg), dengan beras berkualitas bagus dengan takaran yang berbeda, misal 5 kg. Ini riba. Supaya tidak riba, maka beras yang berkualitas rendah dijual dulu lalu uang hasil penjualannya dibelikan beras berkualitas bagus.

-       Misalkan si A membeli sepeda motor dari si B secara kontan seharga Rp 7juta, kemudian si A menjual kembali sepeda motor tersebut kepada si B secara kredit seharga Rp 10juta. Ini jelas riba. Supaya tidak riba, maka A tidak boleh menjual kembali sepeda motor tersebut kepada si B, tetapi menjual kepada orang lain.

-       Contoh lagi, misal si A menjual sepeda motor kepada si B seharga Rp 15juta dengan cicilan selama 3 bulan. Sebelum 3 bulan si A berkata kepada si B, bahwa waktu cicilannya ditambah 3 bulan lagi tetapi harganya menjadi Rp 17juta. Ini hukumnya riba, karena ada tambahan Rp 2juta diluar kesepakatan yang pertama.

-       Seseorang membeli cek mundur seharga Rp 10juta secara kontan dengan harga Rp 8juta. Ini hukumnya riba!. Karena menjual cek mundur itu pada hakekatnya menjual (menukarkan uang dengan uang), sehingga tidak boleh ada penambahan uang Rp 2juta. Adapun yang diperbolehkan cek senilai Rp 10juta ditukar dengan uang sebesar Rp 10juta juga.

-       Kredit kendaraan bermotor kepada Lembaga Keuangan/Finance, Bank Konvensional, Dealer, showroom, dan lain-lain yang menggunakan system bunga. Ini jelas haram dan riba. Supaya tidak riba, maka bisa kredit kendaraan bermotor kepada Bank Syariah, Lembaga-lembaga Keuangan Syariah lainnya, toko-toko atau perorangan yang memberikan kredit kendaraan dengan system jual beli biasa, atau jual beli murabahah.

-       Si A menitipkan modal kepada si B sebesar Rp 10juta. Si A minta kepada si B agar tiap bulan diberi keuntungan 5% dari modal yang dititipkan itu, atau menentukan nominal seperti tiap bulan minta keuntungan Rp 500ribu. Atau sebaliknya si B yang menawarkan keuntungan kepada si A, baik secara presentase maupun nominal dari modal yang dititipkan. Ini hukumnya jelas haram dan riba. Supaya halal dan tidak riba, yang dijanjikan adalah presentase dari keuntungan yang diperoleh. Misal, si B  memberikan bagi hasil kepada si A sebesar 40% dari keuntungan (bersih/kotor) yang diperoleh, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

   C.   Soal Arisan
-       Arisan uang dengan nilai harga beras. Contoh, bulan Desember harga beras Rp 7.000,-/kg. Masing-masing anggota arisan menyetorkan uang arisan Rp 7.000,-/kg. Kalau pada bulan Januari harga beras Rp 10.000,-/kg, maka masing-masing anggota arisan menyetorkan uang arisan Rp 10.000,-/kg. Ini hukumnya riba, karena mentransaksikan uang dengan uang yang timbul adanya tambahan dari Rp 7.000,- menjadi Rp 10.000,-. Supaya tidak riba maka bukan arisan uang dinilai dengan harga beras, tapi betul-betul arisan beras, sehingga yang diserah terimakan adalah beras. Walaupun harganya bisa berubah-ubah tetapi hukumnya tetap halal, karena yang ditransaksikan adalah berasnya, bukan harganya.

-       Suatu perkumpulan (misal 12 orang) mengadakan arisan uang. Masing-masing orang membayar Rp 100 ribu, sehingga total penerimaan Rp 1,2 juta. Ketika salah satu peserta arisan membutuhkan uang secara mendesak, maka penerimaan uang arisan Rp 1,2 juta pada beberapa bulan mendatang dijual sekarang kepada peserta tersebut secara kontan dengan harga Rp 1 juta. Ini hukumnya riba!. Supaya tidak riba maka harus dijual Rp 1,2 juta.

-       Arisan sepeda motor dengan system lelang. Jumlah peserta 50 orang dengan menyerahkan uang arisan Rp 200 ribu/bulan, sehingga jumlah uang terkumpul Rp 10 juta. Harga sepeda motor yang disepakati Rp 15 juta. Pemenang arisan dilelang, yaitu siapa saja yang bisa memberikan uang tambahan paling tinggi minimal Rp 5 juta, maka dia yang berhak mendapatkan uang sebesar Rp 10 juta. Begitu pula pada bulan berikutnya. Apabila harga jenis sepeda motor naik, misalnya menjadi Rp 17,5 juta, maka pemenang arisannya adalah yang bisa menambah setinggi-tingginya, minimal Rp 7,5 juta. Cara seperti ini hukumnya riba karena adanya tambahan uang arisan yang berbeda-beda. Adapun yang benar, apabila pada bulan ini harga sepeda motor Rp 15 juta, maka harga itu dibagi rata 50 peserta, sehingga masing-masing arisan Rp 300 ribu. Begitu seterusnya. Jika harga sepeda motor naik menjadi Rp 17,5 juta, maka harga tersebut dibagi rata 50 peserta, sehingga masing-masing peserta membayar Rp 350 ribu. Ini tidak riba. Karena yang dijadikan arisan adalah sepeda motor jenis tertentu yang sudah disepakati, bukan harganya.

   D.   Main Indeks Saham
-       Main indeks harga saham adalah menyerahkan sejumlah uang untuk diinvestasikan dalam bursa indeks harga saham. Contoh, indeks Han-Seng untuk mendapatkan keuntungan dari
transaksi jual beli indeks harga saham tersebut. Ini hukumnya riba!. Karena hakekatnya menyerahkan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak tanpa ada jual beli barang secara riil. Indeks harga saham bukanlah barang/fisik yang bisa diserahterimakan, karena yang diperjual-belikan adalah harga sahamnya. Adapun yang boleh adalah membeli saham dengan tujuan menjadi salah satu pemilik perusahaan yang menjual saham tersebut. Ada bukti kepemilikan dalam perusahaan tersebut dalam bentuk sertifikat saham, seperti membeli saham Koperasi, PT, atau saham suatu BPR Syariah.(*)