Dalam lingkup masyarakat
terkecil hingga tatanan Negara, praktik yang tidak sesuai dengan syariat agama
begitu merebak. Baik di perbankan, transaksi bisnis, lembaga perkreditan,
bahkan sampai arisan warga. Entah karena umat Islam tidak mengetahui hukum dan
bahaya riba, atau sebenarnya mereka sudah tahu tetapi tetap juga dilanggar. “Yang
haram saja susah apalagi yang halal,” begitu sering kita mendengar orang
berseloroh.
Penyakit “cinta dunia dan
takut mati” tampaknya telah menyebabkan manusia di akhir zaman ini menghalalkan
segala macam cara untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya, termasuk dengan
cara riba. Sungguh benarlah sabda Rasulallah SWA : “Akan datang suatu masa, orang tidak peduli dari mana harta yang
dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram”.
Allah Swt sebenarnya telah
memudahkan bagi manusia dalam urusan memenuhi kebutuhannya. Allah telah
menyediakan semua yang ada dimuka bumi ini untuk manusia, sebagaimana
dijelaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 : “Dialah yang telah menciptakan semua apa-apa yang di bumi untuk kalian,”
dan Surat Al Luqman ayat 20: “Tidakkah
kalian memperhatikan bahwa Alla telah menundukkan/memudahkan untuk
(kepentingan) kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan
menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin”.
Allah juga telah
mengingatkan kepada manusia agar mencari yang halal dan jangan terbujuk rayu
tipu daya syaitan sehingga makan dari hasil usaha yang haram, “Hai sekalian manusia, makanlah kalian dari
(makanan) yang halal lagi baik yang terdapat dibumi, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah syaitan; sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi manusia”. (Al Baqarah : 168).
Berdasarkan dalil-dalil
diatas, para ulama membuat kaidah hukum bahwa segala urusan dunia (muamalah)
diperbolehkan, kecuali ada dalil-dalil yag mengharamkannnya. Oleh karena itu
mempelajari hukum-hukum muamalat menjadi kewajiban kita agar terhindar dari
transaksi yang haram. Orang yang tidak mau mempelajari hukum – hukum muamalat,
maka dia akan mudah terperosok melakukan usaha-usaha yang haram dan makan dari
hasil usaha yang haram. Hal ini sudah diingatkan oleh Umar bin Khattab dan Ali
bin Abi Thalib.
“Diantaranya
adalah ucapan sahabat Umar bin Kattab : Tidak boleh berjual beli di pasar kami
kecuali orang yang faqih (orang yang faham hukum muamalat-red). Jika bukan
orang yang faham hukum muamalat maka dia akan makan riba. Dan ucapan sahabat
Ali bin Abi Thalib RA : barang siapa berjual beli/berdagang sebelum dia menjadi
orang yang faqih/faham hukum muamat maka sungguh-sungguh dia telah jatuh dalam
riba, ruwet dan sulit melepaskannya, kemudian dia dia telah jatuh dalam riba,
ruwet dan sulit melepaskannya, dia telah jatuh dalam riba, ruwet dan sulit
melepaskannya”. (Tafsir al-Qurtuby 3/352, tafsir Ibnu Katsir 1/581-582, tafsir
al-Tabary 6/38, Mughny al-Muhtaj 2/22 dan 6/29).
Menjauhi yang haram adalah
kewajiban kita bersama agar terhindar dari siksaan api neraka. Orang yang biasa
makan dari hasil usaha yang haram, kelak akan dibakar di dalam neraka.
Rasulallah SAW juga telah
melaknati orang yang makan riba, orang yang memberi makan riba, orang yang
menjadi penulis riba, dan orang yang menjadi saksi riba.
“Dari Abdillah ibni Mas’ud, dia berkata : Rasulallah SAW melaknati pada orang
yang makan riba, (yang menghutangi/kreditur), orang yang memberi makan riba
(yang hutang/debitur), saksi riba, dan juru tulis riba”. (H.R.Abu Dawud).
Oleh karena itu, sangat
penting pemahaman tentang riba disampaikan kepada kaum muslimin agar tidak
terjebak pada transaksi ribawi dengan segala bentuknya, apalagi bagi para
pengusaha yang akrab melakukan transaksi bisnis dan mainstreamnya sangat lekat dengan transaksi ribawi. Hal ini
penting dipahami agar bisnis yang dilakukan penuh dengan kebarokahan dan
diridhai Allah SWT. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar