Sebagai seorang anak
desa, masa kecil saya diwarnai dengan suasana pedesaan yang hijau dan damai.
Hamparan sawah yang terbentang luas berpadu dengan lanscape pegunungan yang
menjulang tinggi merupakan romantika yang layak untuk dikenang. Setelah dewasa,
saya meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke kota. Pada saat kembali ke
kampung halaman terkadang terbetik niat untuk memiliki hamparan sawah sekecil
apapun itu.
Kebun Karet |
Suatu ketika seorang
tetangga menawarkan sebidang sawah seluas 4 ribu meter persegi dengan harga Rp
100 juta. Dari berbagai sumber saya akhirnya mengetahui bahwa sawah seluas 2/5
hektar tersebut akan menghasilkan panen gabah kira-kira 2 ton lebih. Dengan
harga gabah kering sekitar Rp 3 ribu per kg, pendapatan dari lahan sawah dalam
sekali musim tanam atau 3 bulan adalah Rp 6 juta. Dengan sistem maro atau bagi
hasil 50% : 50% antara pemilik sawah dan petani penggarap, maka masing-masing
akan mendapatkan Rp3 juta. Dalam setahun pendapatan pemilik sawah seharga Rp
100 juta tadi adalah Rp 9 juta dengan asumsi panen 3 kali. Dengan kata lain, return
investasi lahan sawah adalah 9% per tahun. Cukup layakkah pendapatan dari sawah
ini?
Saya mencoba untuk membandingkan
dengan penempatan pada deposito. Tidak usah muluk-muluk, anggap bunga deposito
adalah sebesar penjaminan. Tingkat suku bunga penjaminan di bank umum saat ini
adalah 5,5% sementara di BPR adalah 8% per tahun. Dengan memperhitungkan PPh
atas imbal hasil deposito sebesar 20%, net return per tahun yang akan
diperoleh dari penempatan di BPR adalah sebesar 6,4%. Hasil ini sedikit lebih
tinggi dibandingkan berinvestasi di lahan sawah dan tentu saja lebih likuid.
Sekarang mari kita membandingkan
dengan investasi di lahan perkebunan karet. Dengan investasi sebesar Rp 100
juta, Anda dapat memperoleh sekitar 1 hektar lahan. Perkebunan karet rata-rata
dijalankan dengan sistem bagi hasil. Sistem pembagiannya bervariasi tetapi yang
paling umum digunakan adalah 50%:50% masing-masing untuk pemilik lahan dan
petani penggarap. Dengan asumsi produksi Bahan Olahan Karet (BOKAR) per bulan
adalah 500 kg dan harga BOKAR adalah Rp10 ribu / kg, maka dalam sebulan total
pendapatan dari lahan karet adalah Rp 5 juta. Pemilik lahan dan petani
penggarap masing-masing mendapatkan Rp 2,5 juta per bulan. Bagi pemilik return
investasi perkebunan karet adalah sebesar Rp 30juta per tahun atau 30% per
tahun. Asumsi harga yang digunakan adalah asumsi harga saat ini yang tergolong
rendah.
Kalau dibandingkan,
dari ketiga investasi tersebut pertanian padi merupakan investasi dengan hasil
terkecil. Akibatnya bagi pemilik modal usaha pertanian padi menjadi tidak
menarik dan demikian juga yang dirasakan oleh petani. Itulah sebabnya di
berbagai daerah di Sumatera, lahan sawah banyak yang beralih fungsi menjadi
lahan kelapa sawit dan karet. Tak lain pemanisnya adalah hasil perolehan yang
lebih besar dari usaha perkebunan kelapa sawit dan karet.
Memang pengalihan
fungsi lahan tersebut menyalahi semangat penyediaan pangan berkelanjutan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan. Tetapi tidak bolehkah para petani pangan
mengenyam kemakmuran sebagaimana yang dirasakan oleh petani karet atau kelapa sawit.
Aturan memang harus ditetapkan dan ditegakkan. Tetapi untuk menegakkanya harus
ada insentif yang menarik bagi para petani pangan. Salah satunya adalah melalui
peningkatan produktivitas dan penyediaan infrastruktur yang memadai.
Jika petani padi di
Indonesia dapat mencapai produktivitas seperti petani padi di Australia yang
tercatat mencapai 10 ton per hektar tentunya ini akan menjadi sebuah insentif
yang sangat menggiurkan. Dalam kasus saya, lahan seluas 2/5 ha akan
menghasilkan 4 ton gabah atau setara dengan Rp12 juta sehingga return
investasi akan mencapai 36%, lebih tinggi daripada return deposito dan
menyamai return perkebunan karet.
Memang untuk saat ini
hal tersebut masih sebatas angan-angan. Namun bagi seorang anak desa seperti
saya, sawah bagaimanapun juga adalah bagian dari romantika masa lalu dan
investasi pangan bagi masa depan. Walaupun hasil yang akan didapatkan dari
lahan sawah hanya 9% per tahun, tetapi tetap saja itu tidak menyurutkan niat
saya untuk memiliki sebidang tanah sawah. Genangan sawah saat memasuki masa
tanam dan kuningnya bulir padi saat akan dipanen seperti menutupi 9% oportunity
loss dari kesempatan untuk berinvestasi di kebun karet.
Namun demikian, saya
terus berharap dan ingin berupaya agar produktivitas sawah dapat naik dan
menghidupi petani-petani yang memang paling berhak atas hasil sawah yang mereka
kerjakan. Semoga. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar